Mengenal Candi | Candi Kidal di Malang
CANDI KIDAL
Candi Kidal Malang, Jawa Timur
Candi Kidal terletak di Desa Kidal, KecamatanTumpang, Kabupaten
Malang (tepatnya sekitar 20km kearah timur dari kota Malang). Candi ini dapat
dikatakan merupakan candi pemujaan yang paling tua di Jawa Timur, karena pemerintahan
Airlangga (11-12 M) dari Kerajaan Kahuripan dan raja-raja Kerajaan Kediri
(12-13 M) hanya meninggalkan Candi Belahan dan Jalatunda yang merupakan
petirtaan atau pemandian.
Sebuah arca singa yang sekarang berada di “Royal TripicalInstiute”
Amsterdam diduga berasal dari Candi Kidal. Arca tersebut tingginya 1.23 m, digambarkan dengan sikap berdiri,
bertangan empat, tangan kanan belakang memegang Aksamala, tangan kiri belakang
memegang cemara. Kedua tangan depan ditekuk di muka dada, telapak tangan kiri
terbuka menghadap keatas sedang telapak tangan kanan ada di atas telapak tangan
kiri dalam sikap menggenggam dengan ibujari diarahkan keatas. Di sampingnya
terdapat bunga teratai yang keluar dari bonggol, menunjukkan personifikasi
Dinasti Singosari.
SPESIFIKASI BANGUNAN CANDI
Candi ini
berukuran 10.8 m, lebar 8.36 m, dan tinggi 12.26 m setelah di pugar pada tahun
1986 sampai dengan tahun 1990. Tinggi aslinya diperkirakan 17 m. secara
vertical candi ini dapat dibagi menjadi kaki candi, tubuh candi. Di dalam bilik
candi tidak ditemukan arca selain Yoni ditengah-tengah bangunan. Yoni ini pun
ketika di temukan sudah berada di luar ruangan, di duga berasal dari ruangan.
Bangunan candi seluruhnya terbuat dari batu
andesit dan berdimensi geometris vertikal. Di sekeliling halaman candi terdapat
susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Tubuh candi berdiri diatas batur
(kaki candi) setinggi sekitar 2 m.
(Pintu Candi)
Pintu
candi menghadap ke barat, dilengkapi dengan bilik penampil dengan hiasan kalamakara
(kepala Kala) di atas ambangnya. Hiasan kepala kala yang nampak menyeramkan
dengan matanya melotot penuh, mulut terbuka serta 2 taring besar dan bengkok,
memberi kesan dominan.
(Atap Candi)
Atap Candi Kidal berebentuk kotak bersusun
tiga, makin ke atas makin mengecil. Puncaknya tidak runcing, melainkan persegi
dengan permukaan yang cukup luas. Puncak tidak terdapat hiasan apapun,
melainkan hanya datar saja. Sekeliling tepi masing-masing lapisan dihiasi
dengan ukiran bunga dan sulur-suluran. Sekeliling kaki candi dihiasi pula dengan
pahatan bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga dan
sulur-suluran. Di kiri dan kanan pangkal tangga serta di setiap sudut yang
menonjol ke luar terdapat patung binatang yang terlihat mirip singa dan kera
dalam posisi duduk seperti manusia dengan satu tangan terangkat ke atas.
KISAH MITOS GARUDHEYA
Mitos Garudheya
hidup di kalangan masyarakat Jawa kuno, khususnya yang mendapat pengaruh
Hinduisme. Mitos ini mengisahkan perjuangan seorang anak untuk membebaskan
ibunya dari penderitaan. Alkisah di sebuah pertapaan, tinggal seorang resi
bernama Resi Kasyapa dengan dua orang istrinya, Dewi Winata dan Dewi Kadru.
Walaupun kedua istri sang resi tersebut bersaudara kandung, namun di antara
keduanya terjadi persaingan keras untuk mendapatkan perhatian yang lebih dari
suaminya. Oleh karena itu, keduanya merasa gelisah ketika mereka tak juga
dikaruniai putra.
Pada suatu
hari, Dewi Winata kedatangan seorang dewa yang menghadiahkan sebuah telur
kepadanya. Dewa itu berpesan agar Dewi Winata menjaga telur itu baik-baik
hingga saatnya menetas nanti dan merawat makhluk yang keluar dari dalam telur
tersebut. Sang Dewi lalu menyimpan telur di tempat tersembunyi. Pada saat yang
bersamaan ternyata Dewi Kadru juga mengalami hal yang sama. Setelah tiba
waktunya, telur yang diberikan kepada Dewi Winata menetas dan dari dalam telur
tersebut keluar seekor anak burung. Sementara itu, telur milik Dewi Kadru juga
menetas dan dari dalamnya keluar beberapa ekor ular. Kedua wanita itu merawat
anak-anak angkat mereka dengan baik. Anak angkat Dewi Winata tumbuh menjadi
seekor garuda yang diberi nama Garudheya, sementara anak-anak Dewi Kadru tumbuh
menjadi naga.
Walaupun
masing-masing telah mempunyai anak angkat, persaingan di antara kedua wanita
tersebut tidak mereda. Pada suatu hari, Dewi Kadru menipu kakaknya dalam sebuah
taruhan, sehingga ia memenangkan taruhan tersebut. Dewi Winata yang kalah harus
menjadi budak Dewi Kadru dan anak-anaknya. Garudheya sangat sedih melihat
penderitaan ibunya. Setelah dewasa, Garudheya berusaha mencari cara untuk
membebaskan ibunya dari perbudakan. Akhirnya Garudheya berhasil mendapatkan
keterangan bahwa ibunya akan bebas dari ikatan perjanjian dengan tebusan tirta
amerta (air kehidupan) yang tersimpan di kahyangan dan dijaga oleh Dewa Wisnu.
Setelah melalui berbagai perjuangan, Garudheya berhasil mendapatkan izin dari
Dewa Wisnu untuk mengambil tirta amerta yang diperlukan untuk meruwat
(membebaskan dari penderitaan) ibunya dengan syarat ia harus menjadi tunggangan
Dewa Wisnu.
Oleh Kelompok 2 :
1.
Zidah Alfi Rizqillah (U20184018)
2.
Ainayah Hadi Wulandari (U20184003)
3.
Indah Nuralifia Ramadhany (U20184005)
4.
Nur Khofifah (U20184043)
5.
Duwi Nur Azizah (U20184046)
6.
Wardatut Thoyibah (U20184057)
7.
Refin Achmad F. (U20184001)
8.
Ario Rafni K. (U20184030)
9.
M. Habiburrohman (U20184007)
Mahasiswa sejarah univ mana?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus